Wednesday, 26 November 2014

FRAUD


Apa itu FRAUD?
Fraud, dalam banyak jenis dan modus, sudah menjadi permasalahan klasik di dalam aktivitas bisnis, sejak dahulu kala hingga kini. Begitu banyak contoh kasus fraud yang muncul ke permukaan. Bahkan saya pribadi berani mengatakan: tidak ada perusahaan yang samasekali bebas dari fraud, termasuk perusahaan yang bergerak di bidang jasa audit dan anti-fraud sekalipun. Di mana ada uang dan kekayaan (baca: aset), di sana PASTI ada fraud.
Jikapun ada yang mengatakan, “Oh tidak. Di perusahaan saya tidak ada yang namanya fraud,” itu karena, either mereka belum tahu cakupan fraud itu sampai dimana, atau karena intensitas dan derajat fraudnya yang lebih halus.
Misalnyaapakah sengaja datang terlambat 30 menit—setelah istirahat—itu termasuk fraud? Apakah menggunakan komputer dan koneksi internet kantor untuk ber-sosial-media-ria itu termasuk fraud? 
Kita di Indonesia, sudah sangat familiar dengan istilah “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme). Ini karena saking maraknya terjadi baik di ranah oragnisasi (baca: perusahaan) swasta maupun pemerintah.
Apakah perusahaan di negara-negara maju sana (yang rule of conduct-nya sudah begitu jelas) aman dari fraud? Ternyata TIDAK. Sebuah headline di Bloomberg, baru-baru ini, menyebutkan:
Limabelas persen CFO, dalam skala global, bersedia “mengeluarkan dana” untuk memenangkan kompetisi bisnis atau melanggengkan hegemoni bisnisnya—sesuai dengan hasil survey yang diselenggarakan oleh Ernst & Young. (Sumber: Bloomberg).
Mengeluarkan dana” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah “bribe” alias menyuap bin nyogok. Apakah ini tergolong tindakan fraud? IYA, jelas. Ini jenis fraud yang dilakukan oleh manajemen level atas, alias eksekutif, alias C-suite.
Di level bawah, tindakan suap-menyuap juga banyak (dan lumrah) terjadi. Misalnya:
·         Menyuap buying agent untuk memperoleh order (fraud oleh orang marketing).
·         Menerima suap dari vendor denga mempercepat proses pembayaran
·         Menyuap oknum pemeriksa pajak supaya proses audit dimudahkan
·         Menyuap hanggar bea cukai untuk meloloskan barang impor yang dilarang
·         Menyuap orang imgrasi agar pelanggaran ijin kerja orang asinya tidak dipermasalahkan
·         Dan bentuk-bentuk penyuapan lainnya
Memberikan traktiran kepada staf accounting, supaya mudah dapat cash bond, pun juga tergolong fraud. Dan tindakan menyuap, hanya salah satu diantara banyak jenis dan modus fraud yang lainnya. 
So, apa itu fraud?
Untuk “standard hunter”—yang menginginkan segala hal (kata-per-kata) berdasarkan standar, mohon maaf, tidak ada definisi fraud resmi dan standar. Jika diminta mendefinisikan, maka saya akan mengatakan:
“Fraud adalah tindakan curang, yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menguntungkan diri-sendiri/kelompok ATAU merugikan pihak lain (perorangan, perusahaan atau institusi).”
Bagaimana caranya mengidentifikasi; apakah suau tindakan tergolong fraud atau tidak?
Dari definisi di atas, bisa kita lihat fraud mengandung beberapa unsur, yaitu:
·         Tindakan yang disengaja
·         Kecurangan
·         Keuntung pribadi/kelompok atau kerugian di pihak lain
Misal, untuk teman-teman mahasiswa: Apakah menyontek saat UAS tergolong tindakan fraud?
Untuk menguji, kita lihat apakah unsur-unsur di atas terpenuhi:
·         Apakah menyontek adalah tindakan yang disengaja? IYA
·         Apakah menyontek tergolong curang? IYA
·         Apakah menyontek menguntungkan diri-sendiri/kelompok? IYA
Semua unsur terpenuhi, berarti menyontek saat UAS adalah tindakan fraud. Iya dong, jelas fraud. Tanpa melihat ukuran dan kerugian yang ditimbulkan, asalkan ketiga unsur itu terpenuhi, maka suatu tindakan sudah bisa dikategorikan sebagai fraud. 


Jenis-jenis Fraud
Seperti sudah saya sampaikan di awal, tulisan ini berfokus pada tindakan fraud di dalam perusahaan saja (internal fraud).
Oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), internal fraud (tindakan penyelwengan di dalam perusahaan ata institusi) dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Fraud Terhadap Aset (Asset Misappropriation) – Singkatnya, penyalahgunaan aset perusahaan (institusi), entah itu dicuri atau digunakan untuk keperluan pribadi—tanpa ijin dari perusahaan. Seperti kita ketahui, aset perusahaan bisa berbentuk kas (uang tunai) dan non-kas. Sehingga, asset misappropriation dikelompokan menjadi 2 macam:
·         Cash Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa kas (Misalnya: penggelapan kas, nilep cek dari pelanggan, menahan cek pembayaran untuk vendor)
·         Non-cash Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa non-kas (Misalnya: menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi).
2. Fraud Terhadap Laporan Keuangan (Fraudulent Statements) – ACFE membagi jenis fraud ini menjadi 2 macam, yaitu: (a) financial; dan (b) non-financial. Saya lebih suka mengatakan: segala tindakan yang membuat Laporan Keuangan menjadi tidak seperti yang seharusnya (tidak mewakili kenyataan), tergolong kelompok fraud terhadap laporan keuangan. Misalnya:
·         Memalsukan bukti transaksi
·         Mengakui suatu transaksi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya,
·         Menerapkan metode akuntansi tertentu secara tidak konsisten untuk menaikan atau menurunkan laba
·         Menerapkan metode pangakuan aset sedemikian rupa sehingga aset menjadi nampak lebih besar dibandingkan yang seharusnya.
·         Menerapkan metode pangakuan liabilitas sedemikian rupa sehingga liabiliats menjadi nampak lebih kecil dibandingkan yang seharusnya.
3. Korupsi (Corruption) – ACFE membagi jenis tindakan korupsi menjadi 2 kelompok, yaitu:
·         Konflik kepentingan (conflict of interest) – Saya mengalami kesulitan mencari kalimat yang paling tepat untuk mendeskripsikan. Contoh sederhananya begini: Seseorang atau kelompok orang di dalam perusahaan (biasanya manajemen level) memiliki ‘hubungan istimewa’ dengan pihak luar (entah itu orang atau badan usaha). Dikatakan memiliki ‘hubungan istimewa’ karena memiliki kepentingan tertentu (misal: punya saham, anggota keluarga, sahabat dekat, dll). Ketika perusahaan bertransaksi dengan pihak luar ini, apabila seorang manajer/eksekutif mengambil keputusan tertentu untuk melindungi kepentingannya itu, sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, maka ini termasuk tindakan fraud. Kita di Indonesia menyebut ini dengan istilah: kolusi dan nepotisme.
·         Menyuap atau Menerima Suap, Imbal-Balik (briberies and excoriation) – Suap, apapun jenisnya dan kepada siapapun, adalah tindakan fraud. Menyupa dan menerima suap, merupakan tindakan fraud. Tindakan lain yang masuk dalam kelompok fraud ini adalah: menerima komisi, membocorkan rahasia perusahaan (baik berupa data atau dokumen) apapun bentuknya, kolusi dalam tender tertentu.
Dari jenis-jenis korupsi di atas saja sudah jelas terlihat, betapa banyaknya macam fraud itu. Masing-masing jenis fraud bisa terjadi dalam berbagai variasi modus.
Di akhir tulisan nanti saya akan sajikan contoh variasi modus internal fraud yang lumrah terjadi di perusahaan-perusahaan. Sebagai penutup, saya akan overview fraud dan profesi fraud examiner di masa depan.
Sebelum ke contoh variasi modus fraud, ada pertanyaan yang menarik untuk dicermati: siapa, atau lebih tepatnya di bagian mana (di dalam perusahaan) fraud terjadi?

Di Bagian Mana (Dalam Perusahaan) Fraud Terjadi?
Di awal tulisan saya mengatakan fraud terjadi di hampir seluruh perusahaan (dalam skala apapun). Jika scope-nya dipersempit menjadi dalam satu perusahaan, di bagian mana fraud terjadi?
Menurut saya, fraud terjadi di semua bagian, dalam kadar dan frekwensi yang berbeda-beda tentunya. Sayangnya, saya belum pernah menemukan hasil penelitian ilmiah, untuk wilayah Indonesia, sehubungan dengan topik ini.
Hasil survey trend oleh bagian Forensic and Valuation Services (FVS) oleh pihak AICPA, di Amerika Serikat sana, menunjukan data sbb:

Description: C:\Users\Amel\Downloads\fraud\Di-Bagian-Mana-Fraud-Terjadi.jpg
Contoh-contoh Modus Internal Fraud
Berikut ini adalah beberapa contoh modus internal fraud yang kerap terjadi di dalam perusahaan atau instutusi, yang saya ambil dari tulisan “FRAUD RISK MANAGEMENT, A guide to good practice,” oleh Gillian Lees (CIMA, Head of Corporate Governance).
Contoh Modus Fraud Pada Kas (Penyalahgunaan Aset):
·         Mencuri dari kas kecil (petty cash)
·         Mengambil uang dari kasir.
·         Skimming uang tunai sebelum pengakuan pendapatan atau piutang (mengecilkan penjualan atau piutang) dilakukan.
·         Mencuri kas/cek masuk dengan mengalihkannya ke rekening pribadi
·         Membuat invoice tagihan palsu dengan tanda tangan palsu, seolah-olah itu tagihan dari vendor, tentunya dengan slip penerimaan barang palsu juga.
·         Membuat email permintaan pembayaran palsu, seolah-olah datangnya dari vendor, yang disusul dengan pengiriman invoice (hardcopy) palsu, dengan approval palsu juga.
·         Memanfaatkan semptinya waktu di saat-saat menjelang tutup buku, karyawan nakal membuat invoice tagihan palsu, seolah-olah itu invoice susulan (ketinggalan)—untuk mempermudah proses approval pembayaran.
·         Pencurian cek perusahaan.
·         Pemalsuan cek perusahaan.
·         Mengubah nama dan atau nominal cek pembayaran
·         Menyetorkan cek ke rekening pihak ketiga tanpa persetujuan manajemen perusahan
·         Cek kiting (skema penipuan menggunakan dua rekening deposito untuk menarik uang secara ilegal dari bank).
·         Menggunakan kartu kredit atau procurement card perusahaan secara tidak sah (bukan untuk kepentingan perusahaan dan tanpa ijin yang berwenang dalam perusahaan).
·         Mengubah angka nominal di invoice tagihan ke pelanggan
·         Membuat memo kredit palsu untuk seolah-olah mengembalikan pembayaran ke pelanggan.
·         Membayar lebihan kepada vendor untuk diam-diam dikompensasikan di penagihan berikutnya (dan mengantongi pengembalian berikutnya).
·         Membuat vendor fiktif untuk membuat tagihan palsu.
·         Mensuplai barang ke dalam persuahaan, lalu diam-diam mengubah catatan tagihan internal perusahaan.
·         Mencuri identitas dan password yang bukan wewenangnya, untuk melakukan transaksi internet banking.
Contoh Modus Fraud Pada Barang Persediaan dan Aktiva Tetap:
·         Mencurian barang persediaan perusahaan
·         Membuat memo debit untuk akun persediaan, untuk kemudiaan bisa mengeluarkan barang persediaan
·         Mengeluarkan barang dari gudang dalam jumlah yang lebih besar dari packing list (srat jalan)
·         Menggelapkan piranti kerja protable (kamera, scanner, keyboard, maouse, monitor, komputer, laptop, tablet, handphone, dll).
·         Mencuri informasi tentang pelanggan yang dirahasiakan oleh perusahaan untuk dijual ke perusahaan pesaing atau pihak ketiga lainnya.
·         Menjual rancangan/desian/atau informasi sehubungan dengan itu, untuk kemudian dijual kepada perusahaan pesaing atau pihak ketiga lainnya.
·         Menerima barang hadiah/gift/souvenir apapu bentuknya dari pemasok, di luar kebijakan perusahaan, tanpa seijin pihak yang berwenang dalam perusahaan.
·         Mengunakan property perusahaan secara tidak sah, untuk kepentingan bukan perusahaan, tanpa seijin pihak berwenang dalam perusahaan.
·         Inside trading (perusahaan dalam perusahaan), menjalankan bisnis pribadi di dalam persuahaan—entah itu bertindak selaku vendor, pelanggan, atau broker, tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang di dalam perusahaan.
Contoh Modus Fraud Dalam Proses Pembelian
·         Mengubah Purchase Request dan Purchase Order (PO) yang sah, tanpa seijin pihak otoritas.
·         Menyalin atau memalsukan tandatangan approval Purchase Request dan Purchase Order.
·         Memalsukan kelengkapan dokumen tagihan
·         Menyalin atau memalsukan tandatangan otorisasi pembayaran
·         Mengajukan faktur pembayaran palsu dari pemasok fiktif.
·         Mengubah termin pembayaran/kredit yang sah tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang di dalam perusahaan.
·         Mengubah daftar harga barang-barang yang dibeli oleh perusahaan
·         Menahan pembayaran ke vendor untuk alasan dan kepentingan pribadi.
·         Membocorkan informasi kepada vendor sehubungan dengan tender pembelian yang diselenggarakan oleh perusahaan.
·         Memberikan perioritas pembayaran istimewa kepada vendor tertentu, di luar analisa umur utang—tanpa seijin pihak yang berwenang di dalam perusahaan.
Contoh Modus Fraud Dalam Proses Penggajian:
·         Memasukan nama dan identitas karyawan fiktif yang sesungguhnya tidak ada
·         Memalsukan atau mengubah jam/hari kerja pegawai—yang dibayar berdasarkan jam atau hari.
·         Memasukan catatan lembur fiktif
·         Memotong pembayaran gaji pegawai, seolah-olah hukuman dari perusahaan, untuk kemudian selisihnya dikantongi sendiri.
·         Berkolusi dengan pegawai lain untuk menaikan nominal komisi penjualan
·         Menaikan upah/gaji, mengubah rate lembur tanpa instruksi dari pihak yang berwenang.
·         Memanipulasi catatan jumlah cuti yang telah diambil
·         Mengajukan klaim pembayaran perawatan kesehatan fiktif
·         Memalsukan atau mengubah angka nominal klaim penggantian biaya berobat
·         Membuat klaim kompensasi pegawai kontrak/borongan untuk pekerjaan yang sesungguhnya tidak ada.
·         Dengan sengaja menunda penghapusan nama pegawai yang berhenti, untuk kemudian gajinya tetap dibayarkan untuk dikantongi sendiri (kerap terjadi di perusahaan-perusahaan besar)
·         Membayarkan dana tunjangan (kesehatan, asuransi, pendidikan) untuk pegawai yang sudah berhenti.
Contoh Modus Fraud Pada Laporan Keuangan:
·         Dengan sengaja melakukan pengakuan pendapatan terlalu besar/terlalu kecil
·         Dengan sengaja tidak melakukan penutupan buku di akhir periode (untuk melakukan perubahan-perubahan tanpa perlu adjustment)
·         Dengan sengaja menaikan nilai penjualan menjelang penutupan buku, untuk kemudian di ajust setelah periode berlalu.
·         Dengan sengaja memundurkan tanggal kontrak (PO) penjualan
·         Mencatat penjualan dan pengiriman barang fiktif
·         Memasukan nilai penjualan yang lebih besar dari kenyataannya
·         Tidak mencatat dan menghilangkan bukti transaksi penjualan agar laba nampak kecil (untuk penghindaran pajak)
·         Dengan sengaja memasukaan jenis penjualan non-operasional ke kelompok pendapatan opersional, atau sebaliknya.
·         Memanipulasi angka diskon atau rabat
·         Membuat estimasi barang kembali, melakukan perubahan harga dan jenis konsesi lainnya
·         Dengan sengaja tidak mencatat barang retur
·         Mengakui pendapatan atas tagihan yang jelas-jelas ditolak oleh pelanggan
·         Mengakui pendapatan (revenue) atas contoh produk (sample/mock up/model) yang terkirim, padahal aslinya tidak dibayar, agar pendapatan nampak besar pada Laporan Laba/Rugi.
·         Mengakui pengiriman barang konsinyasi sebagai penjualan putus
·         Dengan sengaja menghilangkan bukti transaksi biaya/pendapatan untuk menghindari pengakuan biaya/pendapatan.
·         Dengan sengaja membuat bukti transaksi biaya/pendapatan untuk menaikan atau menurunkan pendapatan.
·         Dengan sengaja tidak mengakui atau menunda kewajiban kontinjensi
·         Dengan sengaja menggunakan estimasi persentase pendapatan lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya, dari metode pengakuan pendapatan persentase penyelesaian kontrak
·         Dengan sengaja mengakui piutang dari pihak yang memiliki hubungan istimewa
·         Membuat surat perjanjian tidak sah untuk dijadikan bukti transaksi
·         Mengakui pendapatan atas penyelesaian barang yang sesungguhnya tidak akan pernah dikirimkan ke pelanggan.
·         Mencatat adanya pengiriman barang lebih awal (entah sebagian atau seluruhnya), padahal sesungguhnya barang belum terkirim.
·         Mengakui perolehan aset tetap fiktif.
·         Mengakui nilai pembelian aset bersih lebih tinggi dari kesepakatan yang sesungguhnya, dalam proses merger dan akuisisi.
·         Mengubah angka nilai wajar aset atas hasil revaluasi
·         Mengakapitalisasikan suatu biaya (kedalam aset) yang seharusnya tidak dikapitalisasi.
·         Mengakui sewa pembiayaan sebagai biaya sewa, untuk menghindari pengakuan kewajiban sewa.
·         Mensekemakan metode penyusutan atau amortisasi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih besar atau lebih kecil, untuk maksud menaikan nilai aset atau menaikan pendapatan.
·         Mengakui goodwill dan aset tak berwujud lainnya dalam nilai yang lebih besar dari yang seharusnya.
·         Mengakui adanya investasi yang sesungguhnya fiktif
·         Memanipulasi nilai wajar investasi dari hasil revaluasi yang sah atau dengan sengaja tidak melakukan revaluasi saat harga pasar instrument invetasi mengalami penurunan
·         Mengakui adanya rekening bank dan rekening koran yang sesungguhnya tidak ada
·         Menaikan nilai barang bersediaan dengan memasukan barang persediaan fiktif.
·         Menggunakan metode penilain barang persediaan yang tidak sesuai (tidak diijinkan oleh standar).
·         Dengan sengaja menggunakan metode penilaian barang persediaan secara tidak konsisten
·         Mengakui nilai tagihan lebih besar dari yang sesungguhnya.
·         Dengan sengaja mengakrualkan biaya yang sesungguhnya telah terjadi dan nilai nominalnya sudah diketahui secara pasti (sudah ada tagihan)
·         Mengakui nilai utang yang lebih kecil dari yang seharusnya
·         Mensekemakan penentuan provisi, cadangan, termasuk penurunan nilai dan translasi mata uang asing, sedemikian rupa untuk menaikan nilai aset atau menurunkan nilai liabilitas
·         Perlakuan atas transaksi inter-company yang tidak sesuai.
·         Perlakuan penukaran atau penarikan aset yang tidak sesuai
Contoh Modus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme:
·         Memberi perlakuan istimewa kepada pelanggan dan/atau vendor guna memperoleh suap—yang biasa disebut dengan “balas jasa” (kickback).
·         Berkolusi dengan pihak pelanggan/dan atau vendor.
·         Menerima suap dari vendor, setelah memberi perlakuan istimewa (yang menguntungkan vendor).
·         Menerima suap atas pemberian kontrak
·         Menyetujui pemberian order kepada supplier guna memperoleh suap
·         Membayar atau tidak membayar vendor, yang secara langsung-tidak langsung memberi keuntungan komersial atau bentuk manfaat kompetitif lainnya bagi pada vendor lain, dan memperoleh suap darinya.
·         Menyuap petugas/pejabat pemerintah guna memperoleh perlakuan istimewa atau keuntungan tertentu (misal: auditor pajak, bea cukai, imigrasi, dll).
·         Menerima suap dari perusahaan terakuisisi, sehubungan dengan akuisi bisnis, setelah memberikan perlakuan istimewa yang menguntungkan bagi perusahaan terakuisisi. (biasanya oleh senior management)
·         Menjual property perusahaan di bawah harga pasar, guna memperoleh suap dari pembeli.
·         Membeli property untuk persusahaan guna memperoleh suap dari penjual atau agennya.
·         Menjual konsultasi pribadi dengan pihak ketiga yang bergerak di bidang usaha yang sama atau sejenis.
·         Merekrut staf yang memiliki ‘hubungan istimewa’ dengannya, sementara ada kandidat yang memiliki kualifikasi yang lebih baik.
·         Memberikan advise/alih-pengetahuan/training kepada pihak (perusahaan) pesaing, dalam rangka akan pindah kerja ke sana.
·         Mengikutsertakan diri dalam aktivitas anti-trust (menjelek-jelekan) perusahaan
·         Mengikutsertakan diri atau berkontribusi (langsung atau langsung) dalam aktivitas politik secara ilegal.
·         Mengancam keselamatan pihak (perusahaan) lain guna memperoleh imbal-balik.
·         Menjanjikan keselamatan dan perlindungan bagi kesalahan yang dilakukan oleh orang (pihak lain) guna memperoleh imbal-balik.
·         Mengancam akan membuka rahasia perusahaan atau pihak lain, guna memperoleh imbal-balik.

Fraud dan Fraud Examiner Di Masa Yang Akan Datang
Tentu saja, yang di atas hanya sebagian dari contoh modus fraud yang terjadi di dalam perusahaan. Kian hari, orang yang tidak bertanggungjawab kian kreatif dan cerdik. Ditambah lagi dengan kehadiran prianti berteknologi tinggi, ke depannya fraud akan semakin marak terjadi. Dengan semakin meningkatnya jumlah dan frekuensi transaksi berbasis internet, internal fraud mungkin akan mulai bergeser ke eksternal fraud; pencurian (uang, data, informasi bernilai tinggi) yang dilakukan oleh pihak luar perusahaan.
Melihat penomena fraud yang tak kunjung menurun, dengan jenis-modus fraud yang semakin pintar dan canggih, rasanya sudah saatnya bagi perusahaan untuk menerapkan sistim antisipasi fraud yang semakin dimutakhirkan (bukan sekedar sistim pengendalian intern yang usang).
Note (untuk adik-adik mahasiswa): Profesi ‘fraud examiner‘ ini memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Untuk sektor pemerintah, tentu sudah ada inspektorat jenederal (depkeu) dan bawasda (daerah), tetapi untuk sektor swasta sampai saat ini, fraud examiner di Indonesia masih langka (bahkan mungkin belum ada). Di luar sana, sertifikasi dan profesi fraud examiner sudah banyak tersedia. Saya belum tahu, apakah di Indonesia sudah ada. Jika sudah ada, coba pertimbangkan untuk mengambil pendalaman profesi ini (selain auditor laporan keuangan yang sudah umum). Lebih bagus lagi jika dikombinasikan dengan IT Forensic.


Kasus Fraud di Indonesia
Bank Indonesia (BI) mengakui banyaknya kasus fraud atau pembobolan bank akhir-akhir ini disebabkan karena lemahnya pengawasan internal. Bank sentral meminta bank untuk introspeksi serta membenahi pengendalian internal dengan mengoptimalkan manajemen risiko. “Kasus-kasus yang terjadi merupakan kesempatan perbankan Indonesia untuk introspeksi untuk menyempurnakan pengawasan ke arah yang lebih berbasis risiko. Juga fokus pada aspek kepatuhan dan fungsional terutama risiko operasional untuk memitigasi risiko termasuk internal auditor,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah disela diskusi mengenai banking efficiency award 2011 di Hotel Nikko, Jakarta, Rabu (22/6/2011).
Dicontohkan Halim, beberapa kasus besar industri perbankan global misalnya saja di Singapura beberapa waktu lalu juga dikarenakan lemahnya pengawasan internal dan level top manajemen. Kasus di Indonesia, sambung Halim tidak jauh dari hal tersebut dimana terdapat beberapa kelemahan. “Antara lain level top manajemen dalam melakukan review secara berkala terhadap kebijakan sistem prosedur SOP dan pengendalian internal, kemudian pengawasan internal yang kurang optimal serta adanya kelemahan implementasi kebijakan sistem dan prosedur serta SDM yang kurang menjalankan prinsip Know Your Employee,” paparnya.
“Ditambah ada beberapa pejabat yang kelewat batas dengan dapat mudahnya memodifikasi data nasabah yang tidak diketahui pimpinan bank sehingga terjadi penarikan tanpa diketahui,” imbuh Deputi Bidang Pengawasan BI ini. Maka dari itu, Halim menyampaikan BI akan menyempurnakan sejumlah aturan untuk memperkuat good corporate governance dalam melindungi kepentingan nasabah dan industri perbankan. Aturan yang digodok antara lain menyempurnakan kontrol internal yang efektif, ketersediaan standard operational procedure yang memadai dan mendorong pengawasan aktif dari direksi dan komisaris.
Selain itu, bank sentral juga akan menyempurnakan pengawasan dengan penguatan fungsi Direksi Kepatuhan yang lebih optimal dan satuan kerja audit internal dan manajemen risiko yang dapat beroperasi secara independen. “Semuanya itu antara lain lapisan pertahanan pertama pada bank kalau semuanya dilakukan dapat mengurangi risiko operasional,” ujarnya. Disamping pengguatan GCG di internal bank, menurut Halim, bank sentral juga akan mendorong pengawasan masyarakat dan kantor akuntan publik yang mengaudit bank. “Ini merupakan lapisan kedua sehingga ada jaminan yang baik terhadap perlindungan dana nasabah dan bank itu sendiri sebagai industri,” ujarnya.
Kesimpulan:
Banyaknya kasus fraud atau pembobolan bank akhir-akhir ini disebabkan karena lemahnya pengawasan internal. Kasus yang terjadi merupakan kesempatan perbankan Indonesia untuk introspeksi untuk menyempurnakan pengawasan ke arah yang lebih berbasis risiko. Bank sentral juga akan menyempurnakan pengawasan dengan penguatan fungsi Direksi Kepatuhan yang lebih optimal dan satuan kerja audit internal dan manajemen risiko yang dapat beroperasi secara independen.
Contoh  Kasus  Fraud PT. KIMIA FARMA
PT Kimia Farma merupakan salah satu dari produsen obat-obatan milik pemerintah yang ada di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih yaitu sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa(HTM).
Namun, Kementrian BUMN dan BAPEPAM menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali dan hasilnya telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar.
Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang telah dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Diduga upaya penggelembungan dana yang dilakukan oleh pihak direksi Kimia Farma, dilakukan untuk menarik para investor untuk menanamkan modalnya kepada PT. Kimia Farma.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan pada tanggal 1 dan 3 Februari2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001.
Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.Sebagai akibat dari kejadiannya, ini maka PT Kimia Farma dikenakan denda sebesar Rp 500 juta, direksi lama PT Kimia Farma terkena denda Rp 1 miliar, serta partner HTM yang mengaudit Kimia Farma didenda sebesar 100 juta rupiah. Kesalahan yang dilakukan oleh partner HTM tersebut adalah bahwa ia tidak berhasil mengatasi risiko audit dalam mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT Kimia Farma, walaupun ia telah menjalankan audit sesuai SPAP.
tanggapan : menurut saya kasus PT. Kimia Farma melibatkan direktur produksi dan Hans Tuanakotta & Mustofa(HTM) yang mengaudit laporan dari PT Kimia Farma dan melakukan kecurangan yang mendasar dengan melaporkan laba bersih sebesar 132 milyar untuk menarik para investor agar menanamkan modalnya pada PT. Kimia Farma

No comments:

Post a Comment