Apa
itu FRAUD?
Fraud,
dalam banyak jenis dan modus, sudah menjadi permasalahan klasik di dalam
aktivitas bisnis, sejak dahulu kala hingga kini. Begitu banyak contoh kasus
fraud yang muncul ke permukaan. Bahkan saya pribadi berani mengatakan: tidak
ada perusahaan yang samasekali bebas dari fraud, termasuk perusahaan yang
bergerak di bidang jasa audit dan anti-fraud sekalipun. Di mana ada uang dan
kekayaan (baca: aset), di sana PASTI ada fraud.
Jikapun ada yang
mengatakan, “Oh tidak. Di perusahaan saya tidak ada
yang namanya fraud,” itu karena, either mereka belum tahu cakupan
fraud itu sampai dimana, atau karena intensitas dan derajat fraudnya yang lebih
halus.
Misalnya: apakah sengaja datang terlambat 30 menit—setelah istirahat—itu
termasuk fraud? Apakah menggunakan komputer dan koneksi internet kantor untuk
ber-sosial-media-ria itu termasuk fraud?
Kita di Indonesia, sudah
sangat familiar dengan istilah “KKN”
(korupsi, kolusi dan nepotisme). Ini karena saking
maraknya terjadi baik di ranah oragnisasi (baca: perusahaan) swasta maupun
pemerintah.
Apakah
perusahaan di negara-negara maju sana (yang rule of conduct-nya sudah begitu
jelas) aman dari fraud? Ternyata TIDAK. Sebuah headline di
Bloomberg, baru-baru ini, menyebutkan:
Limabelas
persen CFO, dalam skala global, bersedia “mengeluarkan dana” untuk memenangkan
kompetisi bisnis atau melanggengkan hegemoni bisnisnya—sesuai dengan hasil
survey yang diselenggarakan oleh Ernst & Young.
(Sumber: Bloomberg).
“Mengeluarkan
dana” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah “bribe” alias menyuap bin nyogok. Apakah ini tergolong
tindakan fraud? IYA, jelas. Ini jenis fraud yang dilakukan oleh manajemen level atas, alias eksekutif, alias C-suite.
Di level bawah, tindakan suap-menyuap juga
banyak (dan lumrah) terjadi. Misalnya:
·
Menyuap buying agent untuk memperoleh order
(fraud oleh orang marketing).
·
Menerima suap dari vendor denga mempercepat
proses pembayaran
·
Menyuap oknum pemeriksa pajak supaya proses
audit dimudahkan
·
Menyuap hanggar bea cukai untuk meloloskan
barang impor yang dilarang
·
Menyuap orang imgrasi agar pelanggaran ijin
kerja orang asinya tidak dipermasalahkan
·
Dan bentuk-bentuk penyuapan lainnya
Memberikan traktiran kepada staf accounting,
supaya mudah dapat cash bond, pun juga tergolong fraud. Dan tindakan menyuap,
hanya salah satu diantara banyak jenis dan modus fraud yang lainnya.
So, apa itu fraud?
Untuk “standard hunter”—yang menginginkan segala hal
(kata-per-kata) berdasarkan standar, mohon maaf, tidak ada definisi fraud resmi
dan standar. Jika diminta mendefinisikan, maka saya akan mengatakan:
“Fraud adalah tindakan curang, yang dilakukan
sedemikian rupa, sehingga menguntungkan diri-sendiri/kelompok ATAU merugikan
pihak lain (perorangan, perusahaan atau institusi).”
Bagaimana caranya
mengidentifikasi; apakah suau tindakan tergolong fraud atau tidak?
Dari definisi di atas, bisa kita lihat fraud
mengandung beberapa unsur, yaitu:
·
Tindakan yang disengaja
·
Kecurangan
·
Keuntung pribadi/kelompok atau kerugian di pihak
lain
Misal, untuk teman-teman
mahasiswa: Apakah menyontek saat UAS tergolong tindakan
fraud?
Untuk menguji, kita lihat apakah unsur-unsur
di atas terpenuhi:
·
Apakah menyontek adalah tindakan yang
disengaja? IYA
·
Apakah menyontek tergolong curang? IYA
·
Apakah menyontek menguntungkan
diri-sendiri/kelompok? IYA
Semua unsur terpenuhi, berarti menyontek saat
UAS adalah tindakan fraud. Iya dong, jelas fraud. Tanpa melihat ukuran dan
kerugian yang ditimbulkan, asalkan ketiga unsur itu terpenuhi, maka suatu tindakan
sudah bisa dikategorikan sebagai fraud.
Jenis-jenis
Fraud
Seperti sudah saya sampaikan di awal, tulisan
ini berfokus pada tindakan fraud di dalam perusahaan saja (internal fraud).
Oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), internal fraud (tindakan penyelwengan di
dalam perusahaan ata institusi) dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Fraud Terhadap Aset (Asset Misappropriation) – Singkatnya, penyalahgunaan
aset perusahaan (institusi), entah itu dicuri atau digunakan untuk keperluan
pribadi—tanpa ijin dari perusahaan. Seperti kita ketahui, aset perusahaan bisa
berbentuk kas (uang tunai) dan non-kas. Sehingga, asset misappropriation
dikelompokan menjadi 2 macam:
·
Cash Misappropriation –
Penyelewengan terhadap aset yang berupa kas (Misalnya: penggelapan kas, nilep
cek dari pelanggan, menahan cek pembayaran untuk vendor)
·
Non-cash Misappropriation –
Penyelewengan terhadap aset yang berupa non-kas (Misalnya: menggunakan
fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi).
2. Fraud Terhadap Laporan
Keuangan (Fraudulent Statements)
– ACFE membagi jenis fraud ini menjadi 2 macam, yaitu: (a) financial; dan (b)
non-financial. Saya lebih suka mengatakan: segala tindakan yang membuat Laporan
Keuangan menjadi tidak seperti yang seharusnya (tidak mewakili kenyataan),
tergolong kelompok fraud terhadap laporan keuangan. Misalnya:
·
Memalsukan bukti transaksi
·
Mengakui suatu transaksi lebih besar atau
lebih kecil dari yang seharusnya,
·
Menerapkan metode akuntansi tertentu secara
tidak konsisten untuk menaikan atau menurunkan laba
·
Menerapkan metode pangakuan aset sedemikian
rupa sehingga aset menjadi nampak lebih besar dibandingkan yang seharusnya.
·
Menerapkan metode pangakuan liabilitas
sedemikian rupa sehingga liabiliats menjadi nampak lebih kecil dibandingkan
yang seharusnya.
3. Korupsi (Corruption) – ACFE membagi jenis tindakan korupsi
menjadi 2 kelompok, yaitu:
·
Konflik kepentingan (conflict of interest) – Saya mengalami kesulitan
mencari kalimat yang paling tepat untuk mendeskripsikan. Contoh sederhananya begini:
Seseorang atau kelompok orang di dalam perusahaan (biasanya manajemen level)
memiliki ‘hubungan istimewa’ dengan pihak luar (entah itu orang atau badan
usaha). Dikatakan memiliki ‘hubungan istimewa’ karena memiliki kepentingan
tertentu (misal: punya saham, anggota keluarga, sahabat dekat, dll). Ketika
perusahaan bertransaksi dengan pihak luar ini, apabila seorang
manajer/eksekutif mengambil keputusan tertentu untuk melindungi kepentingannya
itu, sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, maka ini termasuk
tindakan fraud. Kita di Indonesia menyebut ini dengan istilah: kolusi dan
nepotisme.
·
Menyuap atau Menerima Suap, Imbal-Balik (briberies and excoriation) – Suap, apapun jenisnya
dan kepada siapapun, adalah tindakan fraud. Menyupa dan menerima suap,
merupakan tindakan fraud. Tindakan lain yang masuk dalam kelompok fraud ini
adalah: menerima komisi, membocorkan rahasia perusahaan (baik berupa data atau
dokumen) apapun bentuknya, kolusi dalam tender tertentu.
Dari jenis-jenis korupsi di atas saja sudah
jelas terlihat, betapa banyaknya macam fraud itu. Masing-masing jenis fraud
bisa terjadi dalam berbagai variasi modus.
Di
akhir tulisan nanti saya akan sajikan contoh variasi modus internal fraud yang
lumrah terjadi di perusahaan-perusahaan. Sebagai penutup, saya akan overview
fraud dan profesi fraud examiner di masa depan.
Sebelum ke contoh variasi
modus fraud, ada pertanyaan yang menarik untuk dicermati: siapa, atau lebih tepatnya di bagian mana (di dalam perusahaan)
fraud terjadi?
Di
Bagian Mana (Dalam Perusahaan) Fraud Terjadi?
Di awal tulisan saya mengatakan fraud terjadi
di hampir seluruh perusahaan (dalam skala apapun). Jika scope-nya dipersempit
menjadi dalam satu perusahaan, di bagian mana fraud terjadi?
Menurut saya, fraud terjadi di semua bagian,
dalam kadar dan frekwensi yang berbeda-beda tentunya. Sayangnya, saya belum
pernah menemukan hasil penelitian ilmiah, untuk wilayah Indonesia, sehubungan
dengan topik ini.
Hasil survey trend oleh
bagian Forensic and Valuation Services (FVS) oleh pihak
AICPA, di Amerika Serikat sana, menunjukan data sbb:
Contoh-contoh
Modus Internal Fraud
Berikut ini adalah beberapa
contoh modus internal fraud yang kerap terjadi di dalam perusahaan atau
instutusi, yang saya ambil dari tulisan “FRAUD RISK MANAGEMENT, A guide
to good practice,” oleh Gillian Lees (CIMA,
Head of Corporate Governance).
Contoh Modus Fraud Pada Kas
(Penyalahgunaan Aset):
·
Mencuri dari kas kecil (petty cash)
·
Mengambil uang dari kasir.
·
Skimming uang tunai sebelum pengakuan
pendapatan atau piutang (mengecilkan penjualan atau piutang) dilakukan.
·
Mencuri kas/cek masuk dengan mengalihkannya
ke rekening pribadi
·
Membuat invoice tagihan palsu dengan tanda
tangan palsu, seolah-olah itu tagihan dari vendor, tentunya dengan slip
penerimaan barang palsu juga.
·
Membuat email permintaan pembayaran palsu,
seolah-olah datangnya dari vendor, yang disusul dengan pengiriman invoice
(hardcopy) palsu, dengan approval palsu juga.
·
Memanfaatkan semptinya waktu di saat-saat
menjelang tutup buku, karyawan nakal membuat invoice tagihan palsu, seolah-olah
itu invoice susulan (ketinggalan)—untuk mempermudah proses approval pembayaran.
·
Pencurian cek perusahaan.
·
Pemalsuan cek perusahaan.
·
Mengubah nama dan atau nominal cek pembayaran
·
Menyetorkan cek ke rekening pihak ketiga tanpa
persetujuan manajemen perusahan
·
Cek kiting (skema penipuan menggunakan dua
rekening deposito untuk menarik uang secara ilegal dari bank).
·
Menggunakan kartu kredit atau procurement
card perusahaan secara tidak sah (bukan untuk kepentingan perusahaan dan tanpa
ijin yang berwenang dalam perusahaan).
·
Mengubah angka nominal di invoice tagihan ke
pelanggan
·
Membuat memo kredit palsu untuk seolah-olah
mengembalikan pembayaran ke pelanggan.
·
Membayar lebihan kepada vendor untuk
diam-diam dikompensasikan di penagihan berikutnya (dan mengantongi pengembalian
berikutnya).
·
Membuat vendor fiktif untuk membuat tagihan
palsu.
·
Mensuplai barang ke dalam persuahaan, lalu
diam-diam mengubah catatan tagihan internal perusahaan.
·
Mencuri identitas dan password yang bukan wewenangnya,
untuk melakukan transaksi internet banking.
Contoh Modus Fraud Pada Barang
Persediaan dan Aktiva Tetap:
·
Mencurian barang persediaan perusahaan
·
Membuat memo debit untuk akun persediaan,
untuk kemudiaan bisa mengeluarkan barang persediaan
·
Mengeluarkan barang dari gudang dalam jumlah
yang lebih besar dari packing list (srat jalan)
·
Menggelapkan piranti kerja protable (kamera,
scanner, keyboard, maouse, monitor, komputer, laptop, tablet, handphone, dll).
·
Mencuri informasi tentang pelanggan yang
dirahasiakan oleh perusahaan untuk dijual ke perusahaan pesaing atau pihak
ketiga lainnya.
·
Menjual rancangan/desian/atau informasi
sehubungan dengan itu, untuk kemudian dijual kepada perusahaan pesaing atau
pihak ketiga lainnya.
·
Menerima barang hadiah/gift/souvenir apapu
bentuknya dari pemasok, di luar kebijakan perusahaan, tanpa seijin pihak yang
berwenang dalam perusahaan.
·
Mengunakan property perusahaan secara tidak
sah, untuk kepentingan bukan perusahaan, tanpa seijin pihak berwenang dalam
perusahaan.
·
Inside trading (perusahaan dalam perusahaan),
menjalankan bisnis pribadi di dalam persuahaan—entah itu bertindak selaku
vendor, pelanggan, atau broker, tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang di
dalam perusahaan.
Contoh Modus Fraud Dalam Proses
Pembelian
·
Mengubah Purchase Request dan Purchase Order
(PO) yang sah, tanpa seijin pihak otoritas.
·
Menyalin atau memalsukan tandatangan approval
Purchase Request dan Purchase Order.
·
Memalsukan kelengkapan dokumen tagihan
·
Menyalin atau memalsukan tandatangan otorisasi
pembayaran
·
Mengajukan faktur pembayaran palsu dari
pemasok fiktif.
·
Mengubah termin pembayaran/kredit yang sah
tanpa persetujuan dari pihak yang berwenang di dalam perusahaan.
·
Mengubah daftar harga barang-barang yang
dibeli oleh perusahaan
·
Menahan pembayaran ke vendor untuk alasan dan
kepentingan pribadi.
·
Membocorkan informasi kepada vendor
sehubungan dengan tender pembelian yang diselenggarakan oleh perusahaan.
·
Memberikan perioritas pembayaran istimewa
kepada vendor tertentu, di luar analisa umur utang—tanpa seijin pihak yang
berwenang di dalam perusahaan.
Contoh Modus Fraud Dalam Proses
Penggajian:
·
Memasukan nama dan identitas karyawan fiktif
yang sesungguhnya tidak ada
·
Memalsukan atau mengubah jam/hari kerja
pegawai—yang dibayar berdasarkan jam atau hari.
·
Memasukan catatan lembur fiktif
·
Memotong pembayaran gaji pegawai, seolah-olah
hukuman dari perusahaan, untuk kemudian selisihnya dikantongi sendiri.
·
Berkolusi dengan pegawai lain untuk menaikan
nominal komisi penjualan
·
Menaikan upah/gaji, mengubah rate lembur
tanpa instruksi dari pihak yang berwenang.
·
Memanipulasi catatan jumlah cuti yang telah
diambil
·
Mengajukan klaim pembayaran perawatan
kesehatan fiktif
·
Memalsukan atau mengubah angka nominal klaim
penggantian biaya berobat
·
Membuat klaim kompensasi pegawai
kontrak/borongan untuk pekerjaan yang sesungguhnya tidak ada.
·
Dengan sengaja menunda penghapusan nama
pegawai yang berhenti, untuk kemudian gajinya tetap dibayarkan untuk dikantongi
sendiri (kerap terjadi di perusahaan-perusahaan besar)
·
Membayarkan dana tunjangan (kesehatan,
asuransi, pendidikan) untuk pegawai yang sudah berhenti.
Contoh Modus Fraud Pada Laporan
Keuangan:
·
Dengan sengaja melakukan pengakuan pendapatan
terlalu besar/terlalu kecil
·
Dengan sengaja tidak melakukan penutupan buku
di akhir periode (untuk melakukan perubahan-perubahan tanpa perlu adjustment)
·
Dengan sengaja menaikan nilai penjualan
menjelang penutupan buku, untuk kemudian di ajust setelah periode berlalu.
·
Dengan sengaja memundurkan tanggal kontrak
(PO) penjualan
·
Mencatat penjualan dan pengiriman barang
fiktif
·
Memasukan nilai penjualan yang lebih besar
dari kenyataannya
·
Tidak mencatat dan menghilangkan bukti
transaksi penjualan agar laba nampak kecil (untuk penghindaran pajak)
·
Dengan sengaja memasukaan jenis penjualan
non-operasional ke kelompok pendapatan opersional, atau sebaliknya.
·
Memanipulasi angka diskon atau rabat
·
Membuat estimasi barang kembali, melakukan
perubahan harga dan jenis konsesi lainnya
·
Dengan sengaja tidak mencatat barang retur
·
Mengakui pendapatan atas tagihan yang
jelas-jelas ditolak oleh pelanggan
·
Mengakui pendapatan (revenue) atas contoh
produk (sample/mock up/model) yang terkirim, padahal aslinya tidak dibayar,
agar pendapatan nampak besar pada Laporan Laba/Rugi.
·
Mengakui pengiriman barang konsinyasi sebagai
penjualan putus
·
Dengan sengaja menghilangkan bukti transaksi
biaya/pendapatan untuk menghindari pengakuan biaya/pendapatan.
·
Dengan sengaja membuat bukti transaksi
biaya/pendapatan untuk menaikan atau menurunkan pendapatan.
·
Dengan sengaja tidak mengakui atau menunda
kewajiban kontinjensi
·
Dengan sengaja menggunakan estimasi
persentase pendapatan lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya, dari
metode pengakuan pendapatan persentase penyelesaian kontrak
·
Dengan sengaja mengakui piutang dari pihak yang
memiliki hubungan istimewa
·
Membuat surat perjanjian tidak sah untuk
dijadikan bukti transaksi
·
Mengakui pendapatan atas penyelesaian barang
yang sesungguhnya tidak akan pernah dikirimkan ke pelanggan.
·
Mencatat adanya pengiriman barang lebih awal
(entah sebagian atau seluruhnya), padahal sesungguhnya barang belum terkirim.
·
Mengakui perolehan aset tetap fiktif.
·
Mengakui nilai pembelian aset bersih lebih
tinggi dari kesepakatan yang sesungguhnya, dalam proses merger dan akuisisi.
·
Mengubah angka nilai wajar aset atas hasil
revaluasi
·
Mengakapitalisasikan suatu biaya (kedalam
aset) yang seharusnya tidak dikapitalisasi.
·
Mengakui sewa pembiayaan sebagai biaya sewa,
untuk menghindari pengakuan kewajiban sewa.
·
Mensekemakan metode penyusutan atau
amortisasi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih besar atau lebih kecil, untuk
maksud menaikan nilai aset atau menaikan pendapatan.
·
Mengakui goodwill dan aset tak berwujud
lainnya dalam nilai yang lebih besar dari yang seharusnya.
·
Mengakui adanya investasi yang sesungguhnya
fiktif
·
Memanipulasi nilai wajar investasi dari hasil
revaluasi yang sah atau dengan sengaja tidak melakukan revaluasi saat harga
pasar instrument invetasi mengalami penurunan
·
Mengakui adanya rekening bank dan rekening
koran yang sesungguhnya tidak ada
·
Menaikan nilai barang bersediaan dengan
memasukan barang persediaan fiktif.
·
Menggunakan metode penilain barang persediaan
yang tidak sesuai (tidak diijinkan oleh standar).
·
Dengan sengaja menggunakan metode penilaian
barang persediaan secara tidak konsisten
·
Mengakui nilai tagihan lebih besar dari yang
sesungguhnya.
·
Dengan sengaja mengakrualkan biaya yang
sesungguhnya telah terjadi dan nilai nominalnya sudah diketahui secara pasti
(sudah ada tagihan)
·
Mengakui nilai utang yang lebih kecil dari
yang seharusnya
·
Mensekemakan penentuan provisi, cadangan,
termasuk penurunan nilai dan translasi mata uang asing, sedemikian rupa untuk
menaikan nilai aset atau menurunkan nilai liabilitas
·
Perlakuan atas transaksi inter-company yang
tidak sesuai.
·
Perlakuan penukaran atau penarikan aset yang
tidak sesuai
Contoh Modus Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme:
·
Memberi perlakuan istimewa kepada pelanggan
dan/atau vendor guna memperoleh suap—yang biasa disebut dengan “balas jasa” (kickback).
·
Berkolusi dengan pihak pelanggan/dan atau
vendor.
·
Menerima suap dari vendor, setelah memberi
perlakuan istimewa (yang menguntungkan vendor).
·
Menerima suap atas pemberian kontrak
·
Menyetujui pemberian order kepada supplier
guna memperoleh suap
·
Membayar atau tidak membayar vendor, yang
secara langsung-tidak langsung memberi keuntungan komersial atau bentuk manfaat
kompetitif lainnya bagi pada vendor lain, dan memperoleh suap darinya.
·
Menyuap petugas/pejabat pemerintah guna
memperoleh perlakuan istimewa atau keuntungan tertentu (misal: auditor pajak,
bea cukai, imigrasi, dll).
·
Menerima suap dari perusahaan terakuisisi,
sehubungan dengan akuisi bisnis, setelah memberikan perlakuan istimewa yang
menguntungkan bagi perusahaan terakuisisi. (biasanya oleh senior management)
·
Menjual property perusahaan di bawah harga
pasar, guna memperoleh suap dari pembeli.
·
Membeli property untuk persusahaan guna
memperoleh suap dari penjual atau agennya.
·
Menjual konsultasi pribadi dengan pihak
ketiga yang bergerak di bidang usaha yang sama atau sejenis.
·
Merekrut staf yang memiliki ‘hubungan
istimewa’ dengannya, sementara ada kandidat yang memiliki kualifikasi yang
lebih baik.
·
Memberikan advise/alih-pengetahuan/training
kepada pihak (perusahaan) pesaing, dalam rangka akan pindah kerja ke sana.
·
Mengikutsertakan diri dalam aktivitas anti-trust
(menjelek-jelekan) perusahaan
·
Mengikutsertakan diri atau berkontribusi
(langsung atau langsung) dalam aktivitas politik secara ilegal.
·
Mengancam keselamatan pihak (perusahaan) lain
guna memperoleh imbal-balik.
·
Menjanjikan keselamatan dan perlindungan bagi
kesalahan yang dilakukan oleh orang (pihak lain) guna memperoleh imbal-balik.
·
Mengancam akan membuka rahasia perusahaan
atau pihak lain, guna memperoleh imbal-balik.
Fraud
dan Fraud Examiner Di Masa Yang Akan Datang
Tentu saja, yang di atas hanya sebagian dari
contoh modus fraud yang terjadi di dalam perusahaan. Kian hari, orang yang
tidak bertanggungjawab kian kreatif dan cerdik. Ditambah lagi dengan kehadiran
prianti berteknologi tinggi, ke depannya fraud akan semakin marak
terjadi. Dengan semakin meningkatnya jumlah dan frekuensi transaksi
berbasis internet, internal fraud mungkin akan mulai bergeser ke eksternal
fraud; pencurian (uang, data, informasi bernilai tinggi) yang dilakukan oleh
pihak luar perusahaan.
Melihat penomena fraud yang tak kunjung
menurun, dengan jenis-modus fraud yang semakin pintar dan canggih, rasanya
sudah saatnya bagi perusahaan untuk menerapkan sistim antisipasi fraud yang
semakin dimutakhirkan (bukan sekedar sistim pengendalian intern yang usang).
Note (untuk adik-adik mahasiswa):
Profesi ‘fraud examiner‘ ini memiliki prospek yang sangat
menjanjikan. Untuk sektor pemerintah, tentu sudah ada inspektorat jenederal
(depkeu) dan bawasda (daerah), tetapi untuk sektor swasta sampai saat ini,
fraud examiner di Indonesia masih langka (bahkan mungkin belum ada). Di luar
sana, sertifikasi dan profesi fraud examiner sudah banyak tersedia. Saya belum
tahu, apakah di Indonesia sudah ada. Jika sudah ada, coba pertimbangkan untuk
mengambil pendalaman profesi ini (selain auditor laporan keuangan yang sudah
umum). Lebih bagus lagi jika dikombinasikan dengan IT
Forensic.
Kasus Fraud di Indonesia
Bank Indonesia (BI) mengakui banyaknya kasus fraud atau pembobolan bank
akhir-akhir ini disebabkan karena lemahnya pengawasan internal. Bank sentral
meminta bank untuk introspeksi serta membenahi pengendalian internal dengan
mengoptimalkan manajemen risiko. “Kasus-kasus yang terjadi merupakan kesempatan
perbankan Indonesia untuk introspeksi untuk menyempurnakan pengawasan ke arah
yang lebih berbasis risiko. Juga fokus pada aspek kepatuhan dan fungsional
terutama risiko operasional untuk memitigasi risiko termasuk internal auditor,”
ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah disela diskusi mengenai
banking efficiency award 2011 di Hotel Nikko, Jakarta, Rabu (22/6/2011).
Dicontohkan Halim, beberapa kasus besar industri perbankan global
misalnya saja di Singapura beberapa waktu lalu juga dikarenakan lemahnya
pengawasan internal dan level top manajemen. Kasus di Indonesia, sambung Halim
tidak jauh dari hal tersebut dimana terdapat beberapa kelemahan. “Antara lain
level top manajemen dalam melakukan review secara berkala terhadap kebijakan
sistem prosedur SOP dan pengendalian internal, kemudian pengawasan internal
yang kurang optimal serta adanya kelemahan implementasi kebijakan sistem dan
prosedur serta SDM yang kurang menjalankan prinsip Know Your Employee,”
paparnya.
“Ditambah ada beberapa pejabat yang kelewat batas dengan dapat mudahnya
memodifikasi data nasabah yang tidak diketahui pimpinan bank sehingga terjadi
penarikan tanpa diketahui,” imbuh Deputi Bidang Pengawasan BI ini. Maka dari
itu, Halim menyampaikan BI akan menyempurnakan sejumlah aturan untuk memperkuat
good corporate governance dalam melindungi kepentingan nasabah dan industri
perbankan. Aturan yang digodok antara lain menyempurnakan kontrol internal yang
efektif, ketersediaan standard operational procedure yang memadai dan mendorong
pengawasan aktif dari direksi dan komisaris.
Selain itu, bank sentral juga akan menyempurnakan pengawasan dengan
penguatan fungsi Direksi Kepatuhan yang lebih optimal dan satuan kerja audit
internal dan manajemen risiko yang dapat beroperasi secara independen.
“Semuanya itu antara lain lapisan pertahanan pertama pada bank kalau semuanya
dilakukan dapat mengurangi risiko operasional,” ujarnya. Disamping pengguatan
GCG di internal bank, menurut Halim, bank sentral juga akan mendorong
pengawasan masyarakat dan kantor akuntan publik yang mengaudit bank. “Ini
merupakan lapisan kedua sehingga ada jaminan yang baik terhadap perlindungan
dana nasabah dan bank itu sendiri sebagai industri,” ujarnya.
Kesimpulan:
Banyaknya kasus fraud atau pembobolan bank akhir-akhir ini disebabkan
karena lemahnya pengawasan internal. Kasus yang terjadi merupakan kesempatan
perbankan Indonesia untuk introspeksi untuk menyempurnakan pengawasan ke arah
yang lebih berbasis risiko. Bank sentral juga akan menyempurnakan pengawasan
dengan penguatan fungsi Direksi Kepatuhan yang lebih optimal dan satuan kerja
audit internal dan manajemen risiko yang dapat beroperasi secara independen.
Contoh Kasus Fraud PT.
KIMIA FARMA
PT Kimia Farma merupakan salah satu dari produsen obat-obatan milik
pemerintah yang ada di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001,
manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih yaitu sebesar Rp 132
milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa(HTM).
Namun, Kementrian BUMN dan BAPEPAM menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu
besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3
Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali dan hasilnya
telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar.
Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar
Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba
awal yang telah dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku
yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit
Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar,
pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1
miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Diduga upaya
penggelembungan dana yang dilakukan oleh pihak direksi Kimia Farma, dilakukan
untuk menarik para investor untuk menanamkan modalnya kepada PT. Kimia Farma.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai
yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui
direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan pada tanggal
1 dan 3 Februari2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan
nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma
per 31 Desember 2001.
Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan
dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut
dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak
berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang
mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang
berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut
juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.Sebagai
akibat dari kejadiannya, ini maka PT Kimia Farma dikenakan denda sebesar Rp 500
juta, direksi lama PT Kimia Farma terkena denda Rp 1 miliar, serta partner HTM
yang mengaudit Kimia Farma didenda sebesar 100 juta rupiah. Kesalahan yang
dilakukan oleh partner HTM tersebut adalah bahwa ia tidak berhasil mengatasi
risiko audit dalam mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan PT
Kimia Farma, walaupun ia telah menjalankan audit sesuai SPAP.
tanggapan : menurut saya kasus PT. Kimia Farma melibatkan direktur
produksi dan Hans Tuanakotta & Mustofa(HTM) yang mengaudit laporan dari PT
Kimia Farma dan melakukan kecurangan yang mendasar dengan melaporkan laba
bersih sebesar 132 milyar untuk menarik para investor agar menanamkan modalnya
pada PT. Kimia Farma